Mekanisasi pertanian adalah aplikasi mekanis berupa mesin atau alat pada proses produksi pertanian (dalam arti luas) baik on-farm maupun
off-farm. Mekanisasi pertanian di Indonesia telah dilakukan sejak tahun. Mekanisasi pertanian yang tepat berperan sangat signifikan untuk peningkatkan kualitas dan kuantitas produksi pertanian serta pengolahannya. Mekanisasi pertanian mencakup keuntungan efisiensi, efektifitas, kualitas dan produktifitas pertanian. Kemudian berdampak sistemik pada kesejahteraan petani dan pemenuhan kebutuhan pangan , energi dan bahan produksi masyarakat.
Namun demikian sangat ironis, di tengah menjamurnya institusi penelitian (termasuk peneliti), pendidikan (termasuk orang terdidik), serta lembaga pemberdayaan masyarakat di bidang mekanisasi pertanian, saat itulah pula mekanisasi pertanian belum berkembang dan benar-benar termanfaatkan oleh masyarakat secara optimal. Saat ini alsintan lebih banyak “diadopsi” bukan “diadaptasi”. Jika sudah demikian, keuntungan-keuntungan di atas belum didapatkan. Lalu apa permasalahannya? Dan bagaimana solusinya? Tidak hanya bagi pemerintah, namun bagi akademisi/peneliti, pengusaha juga yang terpenting petani sendiri sebagai subjek utama.
Dalam tulisan ini akan dikaji secara komprehensif dari berbagai faktor penentu mekanisasi pertanian.
- 1. Ekonomi
Ekonomi adalah faktor yang paling diprioritaskan oleh petani dalam memutuskan pengunaan mesin pertanian (Al-Haq, 2009). Petani secara sendiri-sendiri merasa belum mampu dalam investasi alat dan mesin pertanian (jika mereka belum merasa sangat membutuhkannya). Hal ini tentu tidak akan terlalu berat jika kelembagaan kelompok tani, koperasi, ataupun Unit Pelayanan Jasa Alsintan masih banyak yang aktif. Karena dengan mengelompok, maka kemampuan beli petani serta biaya pemeliharaan akan terjangkau. Yang menjadi permasalahan adalah, pasca orde baru kelembagaan UPJA, KUD banyak yang bubar dan sampai saat ini banyak yang belum dibangun. Akhirnya alat mesin pertanian hanya dikuasai oleh petani kaya atau rentenir saja. Sebenarnya, dalam jangka panjang, ketika biaya variabel dapat menurun karena efisiensi waktu dan beberapa komponen biaya seperti tenaga kerja, ditambah dengan kenaikan pemasukan hasil penjualan karena produktifitas naik, maka secara otomatis besarnya biaya pokok akan turun dan pendapatan petani akan meningkat. Ini jika saja alsintan dapat digunakan.
- 2. Teknis
Hasil penelitian pada studi kasus alat mesin perontok padi, di lapangan ditemukan banyak sekali alat mesin hasil penyebaran proyek pemerintah yang tidak dapat digunakan karena bahannya sangat mudah rusak. Ini dikarenakan oleh “proyektor” yang nakal alias
Makelar Proyek. Proyek dilakukan asal jalan dan menghabiskan anggran saja (sebab jika anggaran tidak habis, tahun depan kecil kemungkinan akan diberi lagi). Akhirnya alsintan diproduksi dengan asal-asalan. Ini jelas sangat merugikan petani.
- 3. Fungsional
Banyak data yang menyebutkan kapasitas suatu alsintan tinggi. Studi kasus pada alat perontok padi pedal
thresher buatan Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian yang menurut data dijelaskan kapasitas 100 kg/jam. Namun faktanya, 25 kg/jam saja sulit, dan petani memilih menggunakan manual karena lebih mudah. Penelitian-penelitian dan percobaan kapasitas tidak dinormalisasi terlebih dahulu. Kapasitas 100 kg mungkin jika digunakan oleh petani yang sudah terbiasa, namun bagi yang belum terbiasa, akan sulit. Disinilah perlunya pembiasaan penggunaan alsintan (teknologi baru).
- 4. Ergonomi
Beberapa alsintan dirasakan petani tidak ergonomis. Hal ini disebabkan alsintan hanya diasopsi, bukan diadaptasi. Alsintan dari luar apalagi impor tentunya secara ergonomi belum tentu sesuai dengan antropometri masyarakat di berbagai daerah di Indonesia. Disinilah diperlukan adaptasi dan modifikasi alsintan agar sesuai dengan kondisi masyarakat di setiap daerah di Indonesia.
- 5. Kesehatan dan keselamatan kerja
Pekerjaan yang tidak tersentuk aspek kesehatan dan keselamatan adalah pertanian subsistem petani kecil. Berbeda dengan industri non-pertanian yang sangat memperhatikan kesehatan dan keselamatan kerja (K3). Kalaupun ada, K3 hanya dilakukan pada perusahan pertanian level besar. Sedangkan petani kecil di lahan tidak pernah diprioritaskan menggunakan sepatu but ketika ke lahan, menggunakan masker ketika menyemprot pestisida, petani cenderung tak berpakaian lengkap ketika bekerja. Padahal resiko kecelakaan kerja di lahan sangat besar. Pemerintahpun belum menuju kea rah sana sepertinya. Jika sudah seperti ini, pertanian terus dianggap pekerjaan yang rendahan. Padahal jika alsintan akan dikembangkan, maka aspek K3 harus disertakan karena resiko kesehatan dan keselamatan pada saat menggunakan alat mesin lebih besar dibandingkan manual.
- 6. Kondisi lapangan
Mekanisasi pertanian terhambat oleh kondisi lahan petani Indonesia yang hanya 0,2 ha/orang. Kondisi ini dipersulit lagi dengan ketidakkompakan petani dalam menanam dan masa tanam. Teringat dulu ketika orde baru petani sangat kompak dalam menanam dan masa tanam. Padahal jika saat inipun petani kompak dalam masa tanam, maka luasan tanah yang 0,2 ha bisa menjadi 2-3 ha, di mana alsintan akan mudah masuk dan efisien akhirnya. Lagi pula sebenarnya masa tanam yang serempak dapat mengurangi penyebaran hama penyakit.
Selain luasan tanah yang sempit, kondisi lapangan yang berbukit-bukit menyebabkan alsintan sulit masuk ke lahan. Dari dua permasalahan tadi, solusi terbaiknya adalah adanya konsolidasi lahan. Jika sudah seperti ini mau tidak mau petani harus mengurangi egoismenya untuk saling “aku dan aku” (ini tanahku, terserah aku mau tanam apa dan kapan”.
- 7. Fasilitas penunjang operasi
Alsintan membutuhkan fasilitas penunjang operasi untuk dapat digunakan dengan baik. Fasilitas itu adalah BBM, suku cadang, perbengkelan, operator dan jalan akses transportasi alsintan. Pada faktanya, BBM sulit didapatkan, terlebih setelah adanya PP No 09 2006 dimana tidak diperbolehkan membeli bensin selain kendaraan bermotor. Jika ada pun BBM di daerah pedesaan harganya sudah lebih mahal (Rp. 5500/lt bensin) dan itu pun tidak dipastikan murni bensin. Suku cadang alsintan lebih banyak produk luar negeri dan harus diimpor jika ada kerusakan. Inilah penjajahan bentuk baru luar negeri. Sampai saat ini merek-merek yang digunakan adalah merek luar negeri untuk alsintan dan mesin. Padahal sudah banyak hasil riset alsintan. Penyebabnya adalah karena pengusaha tidak berani berinvestasi untuk produk anak bangsa sendiri.
Selain itu fasilitas paling penting untuk aksesibilitas alsintan adalah jalan pertanian yang memadai. Saat ini di beberapa daerah belum memiliki fasiltas jalan pertanian yang dapat dengan mudah alsintan masuk ke lahan. Ini juga yang menjadi alasan para petani enggan menggunakan alsintan, karena mereka merasa kerepotan dalam mengangkut ke lahan.
http://fikrialhaq.wordpress.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar